Thursday, November 22, 2007

Hasil Studi: Kekuatan Lobi Israel Pegang Kendali Kebijakan Luar Negeri AS

eramuslim - John Mearsheimer, akademisi dari jurusan ilmu politik di Universitas Chicago dan Stephen M. Walt akademisi dari John F. Kennedy School of Government, Universitas Harvard, akhir Maret kemarin menerbitkan hasil studi yang mereka lakukan tentang peran lobi Israel dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri pemerintah AS.

Hasil studi sepanjang sepanjang 83 halaman yang diberi judul 'The Israel Lobby and US Foreign Policy' di antaranya menjawab pertanyaan mengapa selama ini AS mengenyampingkan keamanannya sendiri untuk lebih mengedepankan kepentingan pihak lain, dalam hal ini Israel. Apa saja hasil temuan kedua akademisi ini tentang pengaruh lobi Israel terhadap kebijakan luar negeri pemerintah AS?

Israel Penerima Bantuan Terbesar dari AS

Dalam hasil studinya, Mearsheimer dan M. Walt menyatakan, "Kepentingan nasional AS seharusnya menjadi obyek utama kebijakan luar negeri AS. Dalam beberapa dekade belakangan ini, nyatanya dan pada khususnya sejak Perang 6 Hari pada 1967, yang menjadi pusat perhatian kebijakan AS di Timur Tengah adalah hubungannya dengan Israel."

Hasil studi itu mengungkapkan peran para cendikiawan Israel, wartawan dan organisasi hak asasi internasional sebagai pelobi Israel di AS dalam mengarahkan kebijakan luar negeri pemerintah AS untuk memajukan kepentingan-kepentingan Israel, tanpa mempedulikan dampak negatifnya bagi kepentingan AS sendiri.

Mengutip 'Greenbook' lembaga bantuan AS, USAID, hasil studi itu mencatat bahwa pemerintah Zionis Israel telah menerima bantuan dana dari AS sebesar 140 milyar dollar, dan merupakan dana bantuan terbesar yang diberikan secara langsung tiap tahunnya oleh AS untuk membantu perekonomian dan militer Israel.

"Lebih dari itu, AS juga menyediakan dana bagi Israel sebesar hampir 3 milyar dollar untuk membangun sistem persenjataannya, misalnya pembuatan pesawat Lavi yang sebenarnya tidak diinginkan atau dibutuhkan oleh Pentagon, dan memberikan akses pada Israel untuk membuat pesawat-pesawat tempur yang menjadi senjata andalan AS, seperti helikopter-helikopter Blackhawk dan pesawat jet F-16," tulis Mearsheimer dan M. Walt.

Selain itu, AS juga selalu membantu Israel dalam peperangan dan selalu melindungi Israel di Dewan Keamanan PBB.

"Washington secara konsisten memberikan dukungan diplomatik pada Israel. Sejak 1982, AS memveto 32 resolusi Dewan Keamanan PBB menyangkut persoalan-persoalan kritis yang melibatkan Israel, jumlah veto itu lebih besar dari total veto yang pernah dilakukan oleh semua anggota Dewan Keamanan PBB."

Hasil studi itu lebih jauh juga mengungkapkan bagaimana Washington terus menerus menghalang-halangi upaya negara-negara Arab yang ingin mengadukan program persenjataan nuklir Israel ke Badan Energi Atom Internasional.

Dalam konteks tidak tergoyahkannya dukungan AS terhadap Israel dalam semua lini, hasil studi itu mengingatkan kembali ucapan seorang peserta dari AS dalam negosiasi antara Israel dan Palestina di Camp David pada tahun 2000. Peserta itu mengatakan, "Sudah terlalu sering, kami berfungsi.... sebagai pelindung hukum bagi Israel."

Mearsheimer dan M Walt dalam studinya juga menyangkal pernyataan-pernyataan yang mengklaim bahwa Israel merupakan aset strategis, oleh sebab itu AS menjalankan 'strategi yang condong' pada upaya memberikan dukungan yang konsisten terhadap Israel dalam semua sektor.

.".Mengatakan bahwa Israel dan AS disatukan oleh sebuah ancaman yang sama yaitu teroris merupakan sebuah kemunduran, dibandingkan dengan bahwa AS sendirilah yang sebenarnya menghadapi persoalan terorisme karena kedekatannya dengan Israel, bukan sebaliknya."

Karena pandangan-pandangan yang salah itu, hasil studi juga mengungkapkan bagaimana dukungan AS pada Israel pada akhirnya membuat orang yang mereka sebut teroris seperti Usamah bin Ladin, pimpinan Al-Qaidah, 'mendapatkan dukungan dan berhasil melakukan rekrutmen.'

Masalah Suriah dan Iran

Studi yang dilakukan oleh Mearsheimer dan M. Walt (Walt dan Mearheimer belakangan menyatakan mengundurkan diri dari dua universitas itu) juga menyoroti kebijakan AS terhadap Suriah dan Iran, tentu saja dalam kerangka campur tangan lobi Israel.

Menurut hasil studi itu, Israel terus menerus berupaya mempengaruhi AS agar senantiasa melakukan tekanan dan serangan terhadap Suriah dan Iran, musuh besar Israel di kawasan Timur Tengah.

"Para pemimpin Israel tidak memaksa pemerintahan Bush untuk berkonsentrasi pada masalah Suriah sebelum bulan Maret 2003 lalu, karena pada saat itu Bush dan para pemimpin Israel sibuk untuk menggolkan perang mereka terhadap Irak."

Hasil studi itu mencantumkan sejumlah kutipan pernyataan para pemimpin di Israel dalam kurun waktu tersebut, yang memperjelas bahwa negara Yahudi itu menginginkan tekanan terhadap semua hal, bahkan kemungkinan serangan militer yang harus dilakukan Washington terhadap rejim di Suriah.

"Para pemimpin Israel cenderung menjelaskan setiap ancaman dengan menggunakan istilah yang kejam, namun Iran dipandang sebagai musuh mereka yang paling berbahaya karena Iran merupakan negara yang dianggap kemungkinan besar menghasilkan senjata-senjata nuklir."

Menurut hasil studi itu, mantan Perdana Menteri Ariel Sharon untuk pertama kalinya mulai terang-terangan menekan Washington agar melakukan serangan militer ke Iran, pada tahun 2002 ketika Sharon menyebut Iran sebagai 'pusat teroris di dunia' dalam sebuah wawancara dengan The Times. Tidak heran jika dalam konferensi terakhir America-Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Iran dan segala tudingan tentang program nuklir negara itu menjadi tema sentral.

Selama bulan Desember 2005, AIPAC dan para pemain yang pro Israel secara terkordinasai melancarkan serangan terhadap pemerintahan Bush, dengan menyebut posisi Bush terhadap Iran sangat 'menggelisahkan' dan 'berbahaya'. Serangan itu dilontarkan, karena pemerintah Bush menerima usulan Rusia agar memberi peluang bagi Iran untuk melanjutkan program energi nuklirnya di bawah pengawasan Rusia.

Sejak saat itu, pertikaian soal nuklir Iran diajukan ke Dewan Keamanan PBB, dan awal April ini laporan media massa mulai mengangkat pembicaraan seputar rencana serangan terbatas AS ke instalasi-instalasi nuklir Iran.

Studi yang dilakukan Mearsheimer dan M. Walt menegaskan, penjelasan di balik segala bentuk dukungan terhadap Israel merupakan hasil kekuatan lobi Israel yang dilakukan secara masif. Lobi-lobi itu dilakukan baik oleh individu-individu maupun organisasi-organisasi yang secara aktif bekerja untuk membentuk kebijakan luar negeri AS yang pro Israel.

Organisasi-organisasi Israel yang menjadi pelobi itu antara lain AIPAC, Konferensi Persatuan Presiden Organisasi-Organisasi besar Yahudi, Jewish Institute for National Security Affairs, Washington Institute for Near Eastern Policy dan organisasi-organisasi Kristen Zionis.

Pada minggu pertama bulan Maret 2006, AIPAC menggelar konferensi tahunannya di Washington DC yang merupakan konferensi terbesar dalam sejarah AIPAC, karena melibatkan lebih dari 5.000 aktivis pro Israel dari AS dan beberapa negara lainnya. Hampir dua per tiga anggota kongres AS, ditambah para pejabat tinggi pemerintahan AS dan para pengambil kebijakan hadir dalam konferensi itu dan memberikan pidatonya yang berisi dukungan dan upaya kesejahteraan bagi Israel.

Dalam pidatonya di konferensi tersebut, pemimpin partai Republik yang menjadi mayoritas di Dewan Perwakilan AS, John Boehner menegaskan, dirinya tidak akan membiarkan aturan-aturan yang anti Israel didiskusikan di dewan legislatif.

Hasil studi Measheimer dan M. Walt mengungkapkan dua strategi besar yang dilakukan para pelobi Israel untuk menjamin kelangsungan dukungan AS terhadap Israel. Strategi pertama, menggunakan pengaruh yang besar di Washington, menekan Kongres dan lembaga-lembaga eksekutif untuk memberikan dukungan Israel sampai hal yang sekecil-kecilnya. Strategi kedua, perjuangan para pelobi untuk memastikan bahwa wacana publik tentang Israel harus diarahkan ke arah yang positif, dengan mengedepankan mitos tentang Israel dan pendirian negara Israel serta publikasi opini-opini dari sisi Israel dalam kebijakan yang menjadi perdebatan.

Dari Sisi Media Massa

Hasil studi Mearsheimer dan M Walt ini pertama kali dipublikasikan pada 10 Maret oleh London Review of Books. Seperti layaknya hasil studi-studi sejenis yang isinya memojokkan AS, hasil studi berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy ini, juga tidak terlalu diminati oleh media-media massa yang kerap menyuarakan suara pemerintah AS.

"Perspektif hasil studi terhadap Israel ini secara luas terlihat di media-media mainstream AS, karena kebanyakan komentator di AS adalah orang-orang yang pro Israel.bias terhadap persoalan-persoalan Israel terlihat di editorial sebagai besar surat-surat kabar AS," tulis Mearsheimer dan M. Walt.

Keduanya menyebut surat kabar New York Times, Wall Street Journal, Chicago Sun-Times, Washington Times dan majalah seperti Commentary, New Republic dan Weekly Standard sebagai media yang bias dan selalu membela kepentingan Israel.

Terhadap media-media semacam itu, George S. Hishmeh dalam tulisannya di Jordan Times edisi 1 April menyatakan, "Sebelumnya tidak pernah media mainstream di AS tampil begitu tidak sopan dan kehilangan semangat, seperti yang mereka lakukan pada bulan ini, ketika para editor mengabaikan laporan yang begitu mencengangkan dari dua profesor universitas paling terkemuka di negeri itu, Harvard University dan Chicago University."

Hanya sedikit surat kabar yang memuat hasil studi tersebut. Salah satu harian menulis, "Selama lebih dari 25 tahun, kekuatan pro Israel telah membangun pengaruhnya di American Enterprise Institute, Brookings Institution, Center for Study Policy, Foreign Policy Research Institute, Heritage Foundation, Hudson Institute, Institute for Foreign Policy Analysis dan Jewish Institute for National Security Affairs (JINSA).

Mengalahkan Lobi Israel

Di bagian akhir, hasil studi Mearsheimer dan M. Walt mencoba menjawab pertanyaan, "Bisakah kekuatan lobi Israel dibatasi?

Dengan mempertimbangkan sejumlah faktor seperti kegagalan di Irak, kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki citra AS di dunia Islam dan Arab serta terungkapnya skandal pejabat AIPAC yang membocorkan rahasia pemerintah AS pada Israel, Mearsheimer dan M. Walt meyakini 'ada dasar yang cukup bagi para pemimpin AS untuk menjaga jarak dengan lobi-lobi itu.'

Meski tidak akan terjadi dalam waktu dekat, Mearsheimer dan M. Walt menegaskan keyakinannya bahwa masih ada harapan untuk mengurangi kekuatan lobi Israel. "Meskipun lobi itu masih kuat, dampak dari pengaruh lobi itu terbukti makin sulit disembunyikan," kata mereka.

Menurut keduanya, yang sangat dibutuhkan saat ini adalah diskusi yang jujur atas pengaruh lobi Israel dan perdebatan yang lebih terbuka tentang kepentingan AS di wilayah vital, Timur Tengah.

"Perdebatan terbuka akan mengekspos batas-batas persoalan strategis dan moral AS yang memberikan dukungan sepihak serta dapat menggerakkan posisi AS agar lebih konsisten dengan kepentingan nasionalnya sendiri." (ln/iol)

No comments: